Insodenia News

Friday, December 22, 2006

Membandingkan Bush dan Camus

Michael MacDonald dalam American Interest menemukan beberapa persamaan menarik antara pemikiran Albert Camus dan George W Bush.

disebutkan disitu bahwa Bush dalam masa liburannya
membaca buku-bukunya Camus diantaranya The Stranger.
Faktanya adalah pernyataan Bush dalam mensikapi perang terhadap teroris yang berbunyi
"You're either with us or you are with the terrorists,"
akan dengan mudah diterjemahkan dengan pernyataan Camus
“Tout ce qui n’est pas avec nous est contre nous."
yang kurang lebih berarti
"Kalian semua satu barisan bersama kami atau bersama teroris".


Ironis bukan?

“These are moments when everything becomes clear, when every action constitutes a commitment, when every choice has its price, when nothing is neutral anymore.
It is the time of morality, that is, a time when language becomes clear and it is possible to throw it back in the realists’ face.”

siapa yang mengatakan ini,
Bush atau Camuskah?

Labels:

Surat Tanpa Perangko

Tak perlu orang lain tahu, tentang apa yang kutulis atau buku apa yang kubaca.
cukuplah pemikiranku saja yang berenang dikepala orang-orang yang mengitariku. dengan mata yang setengah terpejam, pertanda mereka benar-benar mendengarkan apa yang aku katakan.

aku adalah yang memilih. tak pernah berada pada ketegangan yang selalu memaksa airmataku keluar dari setiap rongga tubuhku.

tak perlu orang lain ikut berfikir, tentang bagaimana aku berfikir, memecahkan masalahku.
cukuplah mereka tahu bahwa aku masih mampu berikhtiar.

dan sekaligus menegaskan pada semua bahwa aku bukanlah pada posisi yang memberikan perintah atau ilmu. tapi adalah suatu keharusan moral ketika aku adalah pelaku utama dalam drama ini. sekurang-kurangnya fahamilah itu, agar tak ada kesesatan yang menjerumuskan arah penilaianmu nantinya.

tapi emil...
ternyata kau juga tidak termasuk kedalam orang-orang yang dipilih. untuk menang. seperti mereka yang sudah-sudah, yang selalu telat menyadari perannya.
seharusnya sedari awal aku menyadarinya, betapa pemahamanmu sudah terlalu jauh meninggalkan batas yang telah ku tetapkan pada awalnya.

tapi jangan pernah merasa bahwa kau adalah sosok yang harus menanggung semua ini. jika memang harus ada dosa untuk ditanggung.
tidak! sama sekali tidak.
ini bukan tentang dosa, tapi tentang petanggungjawaban seseorang akan apa yang telah diperbuatnya.

sedari awalpun aku jualah yang mengambil resiko ini.
bahwa akupun dengan senang hati selain menjadi aktor utama dalam drama yang kumainkan sendiri sekaligus sebagai pembanding dan penonton.

seharusnya engkau melihat bagaimana kritik tajamku justru kusarangkan pada ulu hatiku sendiri. tapi juga sekaligus aku melihat kekurangan setting pada drama ini. lalu peran apa saja yang tidak seharusnya ada dalam percakapan ini. setelah itu akan kusingkirkan segala pemandangan yang tak harus ada nantinya. atau dalam pengertian kasarnya adalah pembunuhan karakter yang terencana.

jadi pada dasarnya, akupun tak menyesali ketika suratmu memang tak pernah sampai kesini.
karena aku hanya butuh satu perangko saja untuk tahu dan faham sampai kapan drama ini harus kuakhiri.
selain itu juga karena aku memang tak pernah menyertakan perangko balasan didalam surat yang kukirimkan kepadamu.

selamat malam, Emil.
selalu kita harus berputus asa untuk menyadari betapa kita suka hidup.
terakhir, sebelum kau terlelap. ingatlah pesanku selalu.
semoga mimpimu tidak bercerita tentang senja.

Labels:

Muda, sadar, sehat... mungkin!

Aku masih duduk dipelataran batu itu, ketika sebuah iring-iringan manusia lewat didepanku. masih terasa agak sesak ditenggorokan sesaat setelah cairan coklat kental itu meluncur kedalam perutku.ada manusia berbagai rupa disana, masih memelihara raut muka sisa ketegangan senja, namun berusaha ditutupi dengan senyum lebar yang mengisyaratkan tanda-tanda penuh kemenangan. pada jeda waktu diantara memandang iringan tadi kusempatkan menghembuskan nafas penuh hawa panas yang berkumpul diparu-paruku.

Aahh.. kalian yang muda seakan tanpa duka masih tertawa. tapi alangkah naifnya prasangka yang trasa dijejalkan pada generasi yang sesaat lagi siap menerima gelarnya, untuk menjadi tua.

Lantai didepanku tiba-tiba basah oleh tumpahan air yang jatuh dari ujung atap diatas kepalaku. sejenak terbayang samar-samar seorang perempuan setengah baya yang biasa menghabiskan malamnya dicafe pinggir jalan di jalan pemuda. wajahnya keras, dengan pembawaan yang seakan tidak ingin memperlihatkan bahwa dalam hidupnya ia pernah kalah. entah oleh waktu, lelaki atau takdirnya sendiri. lalu ia akan bernyanyi tentang anak perempuan seorang tukang tanah yang mati secara mengenaskan tepat pada saat peristiwa penyerangan dan perebutan kembali hak-hak petani di majaseruya.

Tragis... perutku mulai mengalami kontraksi yang hebat. seakan memaksa segala sesuatunya untuk keluar dari kemaluanku, dubur, lubang hidung dan telingaku. aku mengerang kepayahan. tapi yang keluar dari mulutku justru remah-remah sisa makan siangku, yang sudah bercampur dengan cairan asam kental.

Lantai didepanku kembali basah. kali ini oleh air mata yang kukeluarkan dari ujung tenggorokanku.

Iring-iringan manusia didepanku baru saja menghilang diujung jalan. syukurlah saat ini senja tak lagi mengikuti.. pikirku. karena ketakutanku adalah ketika aku harus tidur tepat pada saat matahari binar dalam sendu.

Labels: