Insodenia News

Saturday, September 20, 2008

Perang Jagad Gumaya - Episode 1

Hari kelima minggu kedua dibulan September, udara dingin menyelimuti pagi. Suara burung masih sepi ketika lonceng diatas menara pendopo kelurahan peninggalan belanda berdentang. Dibawahnya Pak Inggi dibantu seorang pengurus desa terlihat dengan susah payah mengayunkan bandul lonceng yang terbuat dari besi. Lonceng tua itu berdentang dengan nyaring, memecah sunyi yang masih mendekam erat sisa-sisa keheningan malam. Pertanda dimulainya masa musim panen raya di desa gemungmadya. Sebuah tradisi turun temurun yang sudah dilakukan oleh warga desa itu selama hamper dua ratus tahun lamanya. Panen kapas terbaik didunia. Meskipun ada beberapa dukuh yang sudah lebih dulu memulai masa panen diakhir bulan oktober, namun perayaan musim panen setiap tahunnya selalu dimulai setelah lonceng tua diatas menara ppendopo kelurahan berdentang.

Satu malam sebelum lonceng berdentang Pak Karto, petinggi desa mengumpulkan semua perwakilan dari 9 dukuh yang ada didesa tersebut seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada yang aneh dalam perayaan panen raya kali ini kecuali dalam rapat pada malam tersebut Pak Karto mengeluarkan sebuah peraturan baru bagi seluruh warga desa gemungmadya. Isinya, setiap dukuh harus mengumpulkan dan menyerahkan hasil panen kapas kepada lumbung desa hingga akhir November. Artinya setiap dukuh hanya punya waktu kurang dari dua bulan untuk menyerahkan hasil panen yang nantinya akan ditentukan oleh perangkat desa jumlah minimal bagi masing-masing desa. Bagi dukuh yang tidak dapat memenuhi kewajibannya sampai masa yang ditentukan, maka tanah bengkok dukuh tersebut untuk masa musim tanam berikutnya akan dikelola oleh desa sampai waktu yang belum ditentukan.

Para petinggi dukuh meradang dengan peraturan baru yang dikeluarkan pak Inggi. Tentu saja selain sebelumnya mereka tidak pernah merasa diajak rembug tentang peraturan tersebut, perwakilan dukuh-dukuh menganggap keputusan Pak Inggi tidak lagi mewakili kepentingan warga desa, karena roda pemerintahan desa praktis hanya tinggal Pak Inggi seorang. Permasalahan klasik didesa gemungmadya, bahwa posisi petinggi desa adalah posisi yang sangat vital dan membutuhkan energi yang banyak untuk merebutnya. Namun orang-orang yang dikirim untuk mewakili tiap-tiap dukuh yang sejatinya akan mendukung dan membantu petinggi desa, dengan berjalannya waktu akan hilang dengan sendirinya. Tentu saja dengan alasan yang beragam pula. Selalu berulang setiap dua tahun sekali selama beberapa decade.

Tapi Pak Inggi tak tinggal diam dengan sikap penolakan yang terang-terangan dari hamper semua perwakilan dukuh. Alhasil kentongan dibalai desa jadi bulan-bulanan kemarahan beliau. Belum lagi batu tulis hasil kerja bakti warga tiga tahun yang lalu yang lebih dulu berantakan dihantam tangan Pa Inggi yang meskipun kurus namun memiliki ilmu tenaga dalam yang tidak sembarangan. Bersikukuh dengan aturan barunya, justru beliau mengeluarkan aturan baru yang lebih bersifat instruktif dan tidak dapat diganggu gugat. “Bagi dukuh yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dan membangkang, maka seluruh asset dan tata kelola dukuh akan langsung diambil alih dan dikontrol oleh desa. Sehingga membuat suasana rembug desa pada malam itu semakin panas. Akhir kata rembug desa pun ditutup dan mereka dibubarkan tanpa sempat memberikan perlawanan sedikitpun. Hampir semua perwakilan dukuh yang datang pada malam itu mengeluarkan alasan yang sama. “Perang tanpa senjata!” tak ada satu dukuhpun yang akan mengira bahwa pembahasan rapat adalah penyerahan hasil panen yang ditentukan oleh desa, bukan seperti yang sudah-sudah, bahwa penyerahan hasil panen adalah otoritas tiap-tiap dukuh berdasarkan kemampuan masing-masing dukuh.

Namun penolakan aturan barupun tetap berjalan. Keesokan harinya dukuh-dukuh yang secara tradisional memiliki asset panen dan sumberdaya politik paling besar diantara dukuh lainnya mulai melakukan gerakan pembangkangan dengan mengumpulkan perangkat dukuh dan para tetua-tetua dukuh. Dari sembilan dukuh yang ada, hanya tiga dukuh saja yang dapat mengendalikan dan mengarahkan kebijakan desa pada umumnya. Termasuk dukuh yang mengusung Pak Karto sebagai petinggi desa dua tahun yang lalu.

Dukuh pertama adalah dukuh Emonoki, mengambil nama seorang legenda desa yang berasal dari jepang, yang menetap didukuh itu dan sekitar duaratus lima puluh tahun yang lalu. Dukuh ini memiliki kekuatan politik dan sumberdaya alam yang melimpah. Pada dasarnya tidak akan bermasalah jika harus menyerahkan sekian persen dari hasil panen mereka kelumbung desa, seperti panen yang sudah-sudah. Karna jumlah panen yang mereka setorkan setiap tahunnya justru melebihi batas yang diusulkan Pak Indro, satu-satunya perangkat desa yang hadir dan mendampingi Pak Inggi pada rapat malam itu. Secara politikpun dukuh emonoki disokong oleh orang-orang keturunan jepang yang sebagian besar tinggal kekota-kota besar dan berprofesi sebagai politikus dan pengusaha. Dukungan dana dan politik yang tidak ada habisnya membuat dukuh yang dipimpin Regi-san ini mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam perpolitikan antar dukuh dan penentuan kebijakan desa. Namun untuk saat ini ada semacam sikap hati-hati dalam setiap tindakan hamper semua perangkat dukuh tersebut. Bias jadi hal ini terkait dengan isu bahwa mereka berambisi untuk mendudukkan orang pilihannya Kaminaki atau biasa dipanggil Bung Kamin sebagai petinggi desa pada pemilihan desember nanti.

Berikutnya adalah dukuh D2. awalnya dukuh ini merupakan bagian dari dukuh Emonoki. Namun akibat pembangunan jalan penghubung antara dukuh emonoki dan dukuh sekitarnya, membuat warga yang tinggal disepanjang jalan baru tersebut mengalami peningkatan yang pesat baik dari segi taraf hidup maupun kebebasan berpolitik. Namun seiring dengan berjalannya waktu masyarakat jalan baru yang diberi nama jalur D2 mulai merasakan perbedaan dalam hal pembagian hasil panen dan keterwakilan komunitas mereka di perangkat dukuh. Akibat seringnya terjadi perbedaan pandangan politik dan system bagi hasil yang tidak merata itu pulalah yang menjadi alasan utama masyarakat disepanjang jalan tersebut menuntut desa untuk menjadikan mereka sebagai dukuh baru. Pertentangan yang akhirnya mereka menangkan dengan segala perjuangan. Kondisi sumberdaya alam dan politik di dukuh inipun tidak jauh berbeda dengan dukuh emonoki. Hanya factor sejarah perlawanan dan pembangkangan terhadap emonoki membuat mereka merasa mempunyai entitas yang berbeda dengan dukuh-dukuh lainnya. Tipikal masyarakat yang keras menjadi cirri khas dukuh ini. Tagi-san, pemimpin dukuh inipun tidak terlepas dari stigma dan tipikal masyarakat yang ditempa langsung dilapangan. Namun kecenderungan keras itupun bukan tidak ada celahnya. Tagi-san dianggap sosok pemimpin yang suka memutuskan sendiri segala kebijakan dukuhnya, tidak mau mendengarkan dan cenderung meninggalkan aspirasi warganya. Terlebih jika berhubungan dengan kebijakan desa. Aturan baru Pak Karto pun tidak banyak berpengaruh bagi dukuh ini, selain tentu saja dijadikan momen bagi perangkat dukuh untuk membangun kekuatan. Bukan untuk menentang aturan desa melainkan untuk meruntuhkan kepemimpinan total Tagi-san. Sehingga menjadi jelaslah bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan untuk segera merapatkan barisan dengan gerakan baru ini. Karena siapapun yang nantinya dapat memasuki dan mengendalikan perlawanan ini akan meraup keuntungan yang besar natinya terkait dengan agenda desa kedepannya.

Lalu ada dukuh SPF. Dukuh yang berkembang akibat adanya program pemerintah untuk menciptakan masyarakat petani dan industri yang berwawasan kedepan melalui program SIPI type F. atau disingkat SIPI-F (system internalisasi petani industri tipe F). keberagaman masyarakat didukuh ini membuat tidak ada kekuatan dominant yang berkuasa. Namun justru menjadi kekuatan besar dalam perebutan kekuasaan ditingkat desa. Hal ini dibuktikan dengan berhasil didudukkannya orang-orang pilihan diposisi petinggi desa selama beberapa periode, termasuk Pak Karto. Namun H. Reubin Pisa, pemimpin dukuh ini justru menganggap kinerja Pak. Karto di pemerintah desa telah mengalami kemunduran yang sangat drastic, sehingga beliau menjadi salah seorang yang paling berang dengan keputusan Pak Karto.

Kembali ke gerakan penolakan yang digalang oleh H. Reubin Pisa, beberapa hari setelah itu, hamper setiap malam ada konsolidasi ditingkat dukuh. Baik internal dukuh maupun pertemuan antar dukuh-dukuh yang ada. Pandangan dan kesimpulan yang dihasilkanpun berbeda-beda antara dukuh yang satu dengan yang lainnya. Ada yang menganggap Pak Karto telah mengalami sesat piker sehingga tidak dapat memutuskan segala sesuatu dengan benar dan pikiran jernih. Ada pula yang menganggap putusan tersebut sarat muatan politis, entah pribadi atau yang berhubungan dengan kongres bupati sekaresidenan maupun yang terkait dengan pemilihan umum anggota dewan rakyat dan gubernur jenderal pada tahun 2009 yang akan dating. Ditambah lagi dengan beredarnya isu yang mengatakan bahwa setiap dukuh harus menyetorkan minimal 100 ton kapas sampai dengan November. Jika melihat Hukum dan aturan desa, bahwa setiap dukuh menyetorkan hasil panennya adalah benar, namun tidak disebutkan jumlah yang harus disetorkan setiap dukuh ke lumbung desa melainkan berdasarkan kemampuan dan hasil rapat di masing-masing dukuh. Isu yang sudah beredar kemana-mana mau tidak mau membuat hamper semua tetua desa dan dukuh-dukuh ikut meradang dan mengutuk Pak Karto sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas semua kekacauan ini.

Situasipun menjadi semakin panas. Tetua desa, tetua dukuh, perangkat dukuh, orang-orang yang berkepentingan dengan agenda pemilihan petinggi desa dan orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan yang jelas namun punya kemampuan mengarahkan dan memanfaatkan isu yang saat ini berkembang, semua berkumpul, mengadakan rapat-rapat, pertemuan-pertemuan, dan mengumpulkan aliansi sebanyak-banyaknya demi membangun kekuatan dikubunya masing-masing. Akibatnya prosesi panen raya menjadi tidak menentu. Ada yang menunda, ada yang mempercepat panen. Ada yang menunda, lalu tak berapa lama kemudian mempercepat panennya. Pembicaraan intensif yang memakan waktu masih berlangsung dimasing-masing kubu. Dukuh beserta perangkat dan pendukung lainnya, aliansi antar dukuh, dan Pak Inggi yang berjuang seorang diri. Sekali waktu diadakan pembicaraan antar dukuh dengan maksud dan tujuan yang hamper sama. Saling mengintip celah dan kekuatan masing-masing kubu demi mulusnya kepentingan kedepan sembari berpegangan tangan meruntuhkan kekuatan Pak Karto yang bertahan tanpa bantuan dari pihak manapun.

Lalu dimana dan apa yang dilakukan oleh Pak Karto, sang petinggi kontroversi ketika dukuh-dukuh tradisional melakukan gerakan pembangkangan..?

“saya tidak punya maksud apa-apa ketika mengeluarkan keputusan tersebut.. kecuali untuk ketertiban semata. Siapa yang tidak senang ketika kita mampu memutus jaringan lalu lintas penjualan kapas yang justru dikuasai oleh orang-orang yang tinggal dikota. Bukan kita yang menentukan berapa harga kapas dipasaran, atau kemana hasil panen kita akan dipasarkan nantinya.” Ujar Pak Karto dengan tenangnya dalam obrolan disebuah warung bersama seorang mantan petinggi desa beberapa hari yang lalu. “tapi jika ada saudara-saudara yang lain yang menganggap apa yang saya lakukan hanya untuk kepentingan pribadi saya sendiri atau putusan ini sarat dengan muatan politis, ditinjau dari teori apapun dan saya sebejat apapun tidak ada keuntungannya buat saya pribadi.. sama halnya dengan teman-teman yang mewakili dukuh, saya berang ketika awalnya saya diposisikan seperti ini. Akan tetapi setelah saya piker-pikir apa yang saya lakukan kemarin setidaknya membuka pandangan semua orang dan saya sendiri siapa kawan taktis dan strategis saya.. jika ini adalah sebuah permainan, saya jadi paham aturan mainnya, bagaimana petanya dan apa yang harus saya lakukan agar menang. Saya dating, saya main, saya menang!” Pak Karto mengakhiri ucapannya dengan mantap. Seakan-akan beliau sudah memenangkan peperangan yang belum dimulai.

Monday, September 15, 2008

Differentia..

Pertentangan yang kita coba ciptakan,
ternyata hanya mengulang persamaan-persamaan dimasa lalu.
Entah aku, entah kau..
Tak ada yang berbeda, kita tak mencipta 'dik..!
Hanya mengeja ulang kata cinta, dengan makna yang tak kentara.
Lirih..
Pedih..
terkadang dingin berdesir,
membawa debu-debu lupa, yang menumpuk menebal menutupi luka.
Atau jadi sungai yang tenang, perlahan menyapa lautan.
Hanya untuk menggelegar, memecah karang-karang tak bernama.

Pertentangan yang kita mainkan,
masih kucoba untuk memperlihatkan, bahwa inilah wajah sendu kenyataan.
Meski kau selalu mendua dengan udara.
Atau mungkin itu jualah perselingkuhan yang kau sebut cinta.
Sebab cinta tak perlu makna..
Sebab cinta tak perlu rasa..
Cukup desah halus dirongga dada,
yang tak pernah menghitung masa. readbud - get paid to read and rate articles

Nietzsche

There is always madness in love,
but there is also some reason in madness..

Langkah.. readbud - get paid to read and rate articles

Langkahnya..
Gemulai tak bernafsu.
Seperti persetubuhan angin dan ranting randu..